Adsense Inside

Advertise Here

Marilah kita buktikan dan realisasikan ungkapan syukur

Kamis, 26 Januari 2012

Untuk mengetahui pengertian syukur yg sebenarnya, marilah kita perhatikan penjelasan di dalam kitab i'anatuththolibin berikut ini :

"Asysyukru lughotan huwalhamdul'urfiyyu, wa'urfan shorful'abdi jamii'a maa an'amallohu bihi 'alayh fiimaa chuliqo liajlih ay an yashrifa jamii'al a'dlooi walma'anillati an'amallohu 'alayh bihaa fiththoo'aatillati thulibasti'maaluhaa fiiha"

Artinya: "syukur menurut pengertian bahasa adalah pujian (alhamdulillah) sebagaimana umumnya. Adapun syukur menurut pengertian syari'at adalah menyalurkan (mendaya fungsikan) semua yg telah di karuniakan Alloh kepadanya menurut fungsi dan tujuan sesuatu itu di ciptakan. Dengan kata lain, menyalurkan semua potensi tubuh yg telah di karuniakan oleh Alloh ta'alaa. Baik secara formal maupun substansial untuk tujuan pengabdian kepada Alloh ta'alaa."

Dengan kata lain, bahwa bersyukur berarti menggunakan keni'matan dan anugerah Alloh ta'alaa. Pada misi pengabdian dan keta'an yg di ridloi-Nya.

Imam nawawi menjelaskan dalam kitab tafsirnya sebagai berikut:
"wakhaqiiqotusysyukri Al i'tirofu bini'matilmun'im ma'a ta'adhzimiih"

Artinya : "esensi syukur adalah pengakuan atas keni'matan yg di berikan oleh sang maha pemurah disertai sikap mengagungkan-nya"

Dengan demikian, kita menjadi tahu betapa pentingnya rasa syukur itu untuk senantiasa ditumbuhkan dan dijaga dalam diri kita. Sebab dengan bersyukur, maka kita akan selalu ingat kepada yg memberi, serta untuk apa keni'matan itu semestinya kita gunakan. Sikap bersyukur akan menjadi kontrol bagi kita agar selalu dapat menggunakan keni'matan sesuai fungsi yg sebenarnya.

Untuk dapat bersyukur dengan baik, kita perlu mengetahui bahwa karunia Alloh itu tidak hanya bersifat materi, namun mencakup banyak hal, antara lain kesehatan, kekaya'an, keahlian, kesempatan, kemampuan intelektual dan lain sebagainya. Bahkan karunia terbesar yg di berikang Alloh ta'ala, itu adalah keimanan. Maka kita mesti tergugah dan sadar untuk selalu memelihara dan memupuknya, sebagai realisasi dari rasa syuku akan anugerah tersebut. Sebaliknya, jika karunia yg kita miliki itu tidak di syukuri akan berakibat buruk pada diri kita sendiri.

Kekaya'an dan harta benda, apabila tidak di syukuri akan menjebak diri kita pada mental materialistik, hidup pada pola konsumeristik yg di perbudak oleh harta dan kekaya'an. Pada akhirnya akan menjauhkan diri kita dari jati diri sebagai manusia yg mulia. Alloh ta'ala mengingatkan dalam firman-Nya :
"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithon dan syaithon itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya" (Qs. Al isroo' : 26-27)

Marilah kita buktikan dan realisasikan ungkapan syukur atas segala ni'mat karunia Alloh yg telah di curahkan kepada kita dengan seoptimal mungkin. Kita gunakan umur, harta benda, kesehatan dan kemampuan tenaga serta ilmu yp kita miliki untuk berbakti kepada Alloh ta'alaa, memberikan kemaslahatan dan kemanfa'atan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara.

Dengan pembuktian syukur yg benar dan profesional, Alloh menjamin akan memberikan tambahan anugerah dan keni'matan yg lebih banyak dan kehidupan yg lebih baik, serta kelak memperoleh kebahagia'an di akhirat dan terhindar dari siksa api neraka.

Alloh ta'alaa berfirman : "sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), Maka sesungguhnya 'adzab-Ku sangat pedih." (Qs. Ibrohim : 7)

secara tegas ayat tersebut menyatakan tentang syukur dan implikasinya, serta akibat buruk yg akan menimpa orang yg mengingkari anugerah dan ni'mat Alloh ta'alaa.

Semoga Alloh ta'alaa selalu memberikan penerangan hati kita, untuk selalu mengingat keni'matan yg telah kita terima, lalu kita mensyukurinya, amin.

Memaknai Syukur Nikmat yang telah diberikan Alloh kepada kita

Apabila direnungkan secara mendalam, ternyata memang banyak nikmat Allah yang telah kita terima dan gunakan dalam hidup ini. Demikian banyaknya sehingga kita tidak mampu menghitungnya. Allah berfirman, ''Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS 16: 18).

Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat dengan menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan kehendak pemberinya. Sedangkan kufur adalah menyembunyikan dan melupakan nikmat. Allah SWT berfirman, ''Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'.'' (QS 14: 7).

Pada dasarnya, semua bentuk syukur ditujukan kepada Allah. Namun, bukan berarti kita tidak boleh bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara nikmat Allah. Ini bisa dipahami dari perintah Alah untuk bersyukur kepada orang tua yang telah berjasa menjadi perantara kehadiran kita di dunia. Firman Allah SWT, ''Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kamu kembali.'' (QS 31: 14).

Perintah bersyukur kepada orang tua sebagai isyarat bersyukur kepada mereka yang berjasa dan menjadi perantara nikmat Alloh. Orang yang tidak mampu bersyukur kepada sesama sebagai tanda ia tidak mampu pula bersyukur kepada Alloh swt . Nabi bersabda, ''Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka ia tidak mensyukuri Alloh.'' (HR Tirmidzi).

Manfaat syukur akan menguntungkan pelakunya. Allah tidak akan memperoleh keuntungan dengan syukur hamba-Nya dan tidak akan rugi atau berkurang keagungan-Nya apabila hamba-Nya kufur. Allah berfirman, ''Dan siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.'' (QS 27: 40).

Ada beberapa cara mensyukuri nikmat Allah swt. Pertama, syukur dengan hati. Ini dilakukan dengan mengakui sepenuh hati apa pun nikmat yang diperoleh bukan hanya karena kepintaran, keahlian, dan kerja keras kita, tetapi karena anugerah dan pemberian Alloh Yang Maha Kuasa. Keyakinan ini membuat seseorang tidak merasa keberatan betapa pun kecil dan sedikit nikmat Alloh yang diperolehnya.

Kedua, syukur dengan lisan. Yaitu, mengakui dengan ucapan bahwa semua nikmat berasal dari Alloh swt. Pengakuan ini diikuti dengan memuji Alloh melalui ucapan alhamdulillah. Ucapan ini merupakan pengakuan bahwa yang paling berhak menerima pujian adalah Allah.

Ketiga, syukur dengan perbuatan. Hal ini dengan menggunakan nikmat Alloh pada jalan dan perbuatan yang diridhoi-Nya, yaitu dengan menjalankan syariat , menta'ati aturan Alloh dalam segala aspek kehidupan

Sikap syukur perlu menjadi kepribadian setiap Muslim. Sikap ini mengingatkan untuk berterima kasih kepada pemberi nikmat (Alloh) dan perantara nikmat yang diperolehnya (manusia). Dengan syukur, ia akan rela dan puas atas nikmat Allah yang diperolehnya dengan tetap meningkatkan usaha guna mendapat nikmat yang lebih baik.

Selain itu, bersyukur atas nikmat yang diberikan Alloh merupakan salah satu kewajiban seorang muslim. Seorang hamba yang tidak pernah bersyukur kepada Alloh, alias kufur nikmat, adalah orang-orang sombong yang pantas mendapat adzab Allah SWT.

Allah telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk mengingat dan bersyukur atas nikmat-nikmatNya: “Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu.” (QS al-Baqarah:152)

Ahli Tafsir, Ali Ash Shobuni menjelaskan bahwa yang dimaksud “Ingat kepada Alloh” itu adalah dengan Ibadah dan Ta’at, maka Alloh akan ingat kepada kita, artinya memberikan pahala dan ampunan. Selanjutnya kita wajib bersyukur atas nikmat Allah dan jangan mengingkarinya dengan berbuat dosa dan maksiat.

Telah diriwayatkan bahwa Nabi Musa as pernah bertanya kepada Tuhannya: ”Ya Robb, bagaimana saya bersyukur kepada Engkau? Robbnya menjawab: ”Ingatlah Aku, dan janganlah kamu lupakan Aku. Jika kamu mengingat Aku sungguh kamu telah bersyukur kepadaKu. Namun, jika kamu melupakan Aku, kamu telah mengingkari nikmatKu”.

Di zaman sekarang ini, betapa banyak orang merefleksikan rasa bersyukur, namun dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syukur itu sendiri. Untuk itu, para ulama telah menggariskan tata cara bersyukur yang benar, yakni dengan cara beribadah dan memupuk ketaatan kepada Allah swt dan meninggalkan maksiat.

Alloh swt telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa orang-orang yang mau bersyukur atas nikmat yang diberikanNya sangatlah sedikit. Kebanyakan manusia ingkar terhadap nikmat yang diberikan Alloh kepada mereka. “Sesungguhnya Alloh benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas umat manusia, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukurinya.” [QS Yunus: 60]

“Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut yang kamu berdoa kepadaNya dengan berendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): ”Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari bencana ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.” Katakanlah: ”Alloh menyelamatkan kamu daripada bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukanNya.” (QS Al-An’aam: 63-64).

Ketika manusia ditimpa berbagai macam kesusahan mereka segara berdoa dan berjanji untuk bersyukur pada Allah jika bencana itu dihindarkanNya. Akan tetapi, ketika Allah menghindarkan mereka dari bencana itu, mereka lupa bersyukur bahkan kembali mempersekutukan Allah swt. Betapa banyak orang menangis, meratap, memelas dan merengek-rengek meminta kepada Alloh swt agar dihindarkan dari kesusahan hidup; masalah pribadi, soal pekerjaan, musibah, dsb. Akan tetapi, ketika Alloh menghindarkan mereka dari kesusahan mereka kembali lalai, bermaksiat, bahkan menerapkan aturan-aturan selain aturan Allah. Bukankah hal ini termasuk telah menyekutukan Allah swt? Wallahu a'lam

Syukur Nikmat membawa berkah dalam hidup

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menceritakan (artinya):
“Ada tiga orang dari Bani Israil menderita penyakit belang, botak, dan buta. Allah hendak menguji mereka, maka Allah pun utus kepada mereka Malaikat.

Malaikat itu datang kepada si belang dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si belang menjawab: Saya mendambakan paras yang tampan dan kulit yang bagus serta hilang penyakit yang menjadikan orang-orang jijik kepadaku. Malaikat itu pun mengusap si belang, maka hilanglah penyakit yang menjijikkannya itu, bahkan ia diberi paras yang tampan. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si belang menjawab: Unta. Kemudian ia diberi unta yang bunting sepuluh bulan. Dan malaikat tadi berkata: Semoga Allah memberi barakah atas apa yang kamu dapatkan ini.

Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si botak menjawab: Saya mendambakan rambut yang bagus dan hilangnya penyakit yang menjadikan orang-orang jijik kepadaku ini. Malaikat itu pun mengusap si botak, maka hilanglah penyakitnya itu, serta diberilah ia rambut yang bagus. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si botak menjawab: Sapi. Kemudian ia diberi sapi yang bunting. Dan malaikat tadi berkata: Semoga Allah memberi barakah atas apa yang kamu dapatkan ini.

Kemudian Malaikat itu datang kepada si buta dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si buta menjawab: Saya mendambakan agar Allah mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat. Malaikat itu pun mengusap si buta, dan Allah mengembalikan penglihatannya. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si buta menjawab: Kambing. Kemudian ia diberi kambing yang bunting.

Selang beberapa waktu kemudian, unta, sapi, dan kambing tersebut berkembang biak yang akhirnya si belang tadi memiliki unta yang memenuhi suatu lembah, demikian juga dengan si botak dan si buta, masing-masing memiliki sapi dan kambing yang memenuhi suatu lembah.

Kemudian Malaikat tadi datang kepada si belang dengan menyerupai orang yang berpenyakit belang seperti keadaan si belang waktu itu, dan berkata: Saya adalah orang miskin yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini tidak ada yang mau memberi pertolongan kecuali Allah kemudian engkau. Saya meminta kepadamu -dengan menyebut Dzat Yang telah memberi engkau paras yang tampan dan kulit yang bagus serta harta kekayaan- seekor unta untuk bekal dalam perjalanan saya. Si belang berkata: Hak-hak yang harus saya berikan masih banyak.

Malaikat itu berkata: Kalau tidak salah saya sudah mengenalimu. Bukankah kamu dahulu orang yang berpenyakit belang sehingga orang lain merasa jijik kepadamu? Bukankah kamu dahulu orang yang miskin kemudian Allah memberi kekayaan kepadamu? Si belang berkata: Harta kekayaanku ini adalah warisan dari nenek moyangku. Malaikat itu berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah mengembalikanmu seperti keadaan semula.

Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak seperti keadaan si botak waktu itu. Dan berkata kepadanya seperti apa yang dikatakan kepada si belang. Si botak juga menjawab seperti jawaban si belang tadi. Kemudian Malaikat tadi berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah ? mengembalikanmu seperti keadaan semula.

Kemudian Malaikat tadi mendatangi si buta dengan menyerupai orang buta seperti keadaan si buta waktu itu dan berkata: Saya adalah orang miskin yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini tidak ada yang mau memberi pertolongan kecuali Allah ? kemudian engkau. Saya meminta kepadamu -dengan menyebut Dzat Yang telah mengembalikan penglihatanmu- seekor kambing untuk bekal dalam perjalanan saya. Si buta berkata: Saya dahulu adalah orang yang buta kemudian Allah mengembalikan penglihatan saya. Maka ambillah apa yang kamu inginkan dan tinggalkanlah apa yang tidak kamu senangi. Demi Allah, sekarang saya tidak akan memberatkan sesuatu kepadamu yang kamu ambil karena Allah Yang Maha Mulia. Malaikat itu berkata: Peliharalah harta kekayaanmu, sebenarnya kamu itu diuji dan Allah telah ridha kepadamu dan murka kepada kedua temanmu (si belang dan si botak).” (HR. Al Bukhari dan Muslim, hadits ini juga disebutkan oleh Al Imam An Nawawi dalam Riyadhush Shalihin hadits no. 65)

Di dalam sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang mulia tersebut banyak terkandung faedah dan pelajaran beharga bagi kaum muslimin. Tidaklah Rasulullah menceritakan kisah kejadian umat terdahulu melainkan untuk menjadi pelajaran bagi umat yang datang setelahnya.
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf: 111)

Para ulama mendefinisikan Syukur sebagai ungkapan aplikatif

Kata syukur sepadan dengan kata al-hamdu walaupun kata syukur lebih dekat pada pengucapan rasa terimakasih terhadap nikmat yang telah Allah swt. anugrahkan kepada seseorang, sementara kata al-hamdu merupakan ungkapan rasa terimakasih dalam bentuk umum.

Para ulama mendefinisikan Syukur sebagai ungkapan aplikatif dengan menggunakan segala apa yang dianugrahkan Allah swt sesuai dengan tujuan penciptaan anugrah itu. Karena itu syukur terbagai pada tiga bagian; syukur i’tiqodi (bersyukur dalam bentuk keyakinan), syukur qauli (bersyukur dalam bentuk ucapan) dan syukur ‘amali (bersyukur dalam bentuk perbuatan dan prilaku). Jadi untuk mensyukuri suatu nikmat secara sempurna, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu untuk apa nikmat tersebut diciptakan dan dianugrahkan Allah swt. Misalnya, untuk apa mata, telinga, akal dan alam ini diciptakan Allah swt. Jika telah ditemukan jawabannya, maka gunakanlah nikmat itu sesuai dengan tujuan dimaksud.

Kalau kita telusuri ayat-ayat Al-Quran maka kita akan jumpai banyak ayat-ayatnya yang berkenaan tentang syukur; baik dalam bentuk kata kerja masa lampau, kata kerja masa kini dan akan datang dan kata kerja perintah, atau dalam bentuk masdar dan dalam bentuk isim fa’il. Kesemua bentuk tersebut memiliki tujuan tertentu, dan memberikan pelajaran kepada umat manusia bahwa apapun bentuknya dan bagaimanapun keadaanya manusia harus tetap bersyukur kepada Allah.

Kenapa demikian..??

Karena setiap orang sangat memerlukan Allah swt dalam setiap gerak kehidupannya. Dari udara untuk bernafas hingga makanan yang ia makan, dari kemampuannya untuk menggunakan tangannya hingga kemampuan berbicara, dari perasaan aman hingga perasaan bahagia, seseorang benar-benar sangat memerlukan apa yang telah diciptakan oleh Allah swt dan apa yang dikaruniakan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan orang tidak menyadari kelemahan mereka dan tidak menyadari bahwa mereka sangat memerlukan Allah swt. Mereka menganggap bahwa segala sesuatu terjadi dengan sendirinya atau mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang mereka peroleh adalah karena hasil jerih payah mereka sendiri.

Anggapan ini merupakan kesalahan yang sangat fatal dan benar-benar tidak mensyukuri nikmat Allah swt. Anehnya, orang-orang yang telah menyatakan rasa terima kasihnya kepada seseorang karena telah memberi sesuatu yang remeh kepadanya, mereka menghabiskan hidupnya dengan mengabaikan nikmat Allah swt yang tidak terhitung banyaknya di sepanjang hidupnya. Bagaimanapun, nikmat yang diberikan Allah swt kepada seseorang sangatlah besar sehingga tak seorang pun yang dapat menghitungnya. Allah swt menceritakan kenyataan ini dalam sebuah ayat sebagai berikut:

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” An-Nahl:18.

Orang-orang yang beriman kepada Allah swt akan selalu menyadari kelemahan mereka di hadapan Allah swt sehingga mereka selalu memanjatkan syukur dengan rendah diri atas setiap nikmat yang diterima. Bukan hanya kekayaan dan harta benda yang disyukuri, namun mereka memahami bahwa Allah wt adalah Pemilik segala sesuatu, bersyukur atas kesehatan, keindahan, ilmu, hikmah, kepahaman, wawasan, dan kekuatan yang dikaruniakan kepada mereka, dan mereka mencintai keimanan dan membenci kekufuran. Mereka bersyukur karena telah dibimbing dalam kebenaran dan dimasukkan dalam golongan orang-orang beriman. Pemandangan yang indah, urusan yang mudah, keinginan yang tercapai, berita-berita yang menggembirakan, perbuatan yang terpuji, dan nikmat-nikmat lainnya, semua ini menjadikan orang-orang beriman berpaling kepada Allah, bersyukur kepada-Nya yang telah menunjukkan rahmat dan kasih sayang-Nya.

Dan perlu difahami juga bahwa syukur selain sebagai kewajiban manusia terhadap segala pemberian dan anugrah Allah swt sebagaimana yang telah disebutkan di atas, juga merupakan kebutuhan setiap orang, sehingga dengan prilaku syukur tersebut akan mendatangkan berbagai macam kebaikan dan kenikmatan lainnya, ditambah lagi banyak pahala yang telah dipersiapkan Allah swt orang-orang ahli syukur.

Ini merupakan rahasia lain yang dinyatakan dalam al-Qur’an; Allah swt menambah nikmat-Nya kepada orang-orang yang bersyukur. Misalnya, bahkan Allah swt memberikan kesehatan dan kekuatan yang lebih banyak lagi kepada orang-orang yang bersyukur kepada-Nya atas kesehatan dan kekuatan yang mereka miliki. Bahkan Allah swt mengaruniakan ilmu dan kekayaan yang lebih banyak kepada orang-orang yang mensyukuri ilmu dan kekayaan tersebut. Hal ini karena mereka adalah orang-orang yang ikhlas yang merasa puas dengan apa yang diberikan Allah swt dan mereka ridha dengan karunia tersebut, dan mereka menjadikan Allah swt sebagai pelindung mereka. Allah swt menceritakan rahasia ini dalam al-Qur’an sebagai berikut:

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” Ibrahim:7.

Mensyukuri nikmat juga menunjukkan tanda kedekatan dan kecintaan seseorang kepada Allah swt. Orang-orang yang bersyukur memiliki kesadaran dan kemampuan untuk melihat keindahan dan kenikmatan yang dikaruniakan Allah swt.

Orang-orang mukmin sejati tetap bersyukur kepada Allah swt sekalipun mereka berada dalam keadaan yang sangat sulit. Seseorang yang melihat dari luar mungkin mengira berkurangnya nikmat pada diri orang-orang yang beriman. Padahal, orang-orang beriman yang mampu melihat sisi-sisi kebaikan dalam setiap peristiwa dan keadaan juga mampu melihat kebaikan dalam penderitaan tersebut. Misalnya, Allah swt menyatakan bahwa Dia akan menguji manusia dengan rasa takut, lapar, kehilangan harta dan jiwa. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang beriman tetap bergembira dan merasa bersyukur, mereka berharap bahwa Allah swt akan memberi pahala kepada mereka berupa surga sebagai pahala atas sikap mereka yang tetap istiqamah dalam menghadapi ujian tersebut. Mereka mengetahui bahwa Allah swt tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kekuatannya.

Sikap istiqamah dan tawakal yang mereka jalani dalam menghadapi penderitaan tersebut akan membuahkan sifat sabar dan syukur dalam diri mereka. Dengan demikian, ciri-ciri orang yang beriman adalah tetap menunjukkan ketaatan dan bertawakal kepada-Nya, dan Allah swt berjanji akan menambah nikmat kepada hamba-hamba-Nya yang mensyukuri nikmat-Nya, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

Jika menilik surat Ar-Rahman, Allah swt membicarakan aneka nikmat-Nya dalam kehidupan dunia ini dan kehidupan akhirat kelak. Hampir pada setiap dua nikmat yang disebutkan, Al-Quran mengulangi satu pertanyaan dengan redaksi yang sama; maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ingkari?

Pertanyaan tersebut terulang sebanyak tiga puluh satu kali. Sementara ulama menganalisis jumlah itu dan mengelompokkannya untuk kemudian sampai pada suatu kesimpulan.

Delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat-nikmat Allah swt dalam kehidupan dunia ini, antara lain nikmat pengajaran Al-Quran, pengajaran berekspresi, langit, bumi, matahari, lautan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.

Tujuh pertanyaan kedua dalam kaitan dengan ancaman siksa neraka di akhirat nanti. Perlu diingat bahwa ancaman adalah bagian pemeliharaan dan pendidikan serta merupakan salah satu nikmat Allah swt.

Delapan pertanyaan ketiga berkaitan dengan nikmat Allah swt yang diperoleh dalam surga yang pertama.

Delapan pertanyaan keempat dalam kaitan dengan nikmat-nikmat pada surga kedua.

Dari hasil pengelompokkan demikian, para ulama menyusun semacam rumus yaitu siapa yang mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah swt yang disebutkan dalam rangkaian delapan pertanyaan pertama maka ia akan selamat dari ketujuh pintu neraka yang disebut dalam ancaman dalam tujuh pertanyaan berikutnya. Sekaligus dia dapat memilih pintu-pintu mana saja dari kedelapan pintu surga, baik surga pertama maupun surga kedua, baik surga kenikmatan duniawi maupun kenikmatan ukhrawi.

Bagitu agungnya kata syukur, dan bagitu besarnya orang yang mampu menysukuri segala nikmat Allah swt, walau dalam keadaan bagaimanapun dan kondisi apapun. Allahu akbar walillahilhamdu. Allahu a’lam

Menggugat Ketidakadilan Negara

Jumat, 11 November 2011

“Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan” (Pasal 1, Universal Declaration Of Human Rights)

Kekuasaan Orde Baru, berdiri kokoh selama 32 tahun di atas darah dan air mata para korban-korban pembantaian tragedi 30 September 1965.Negara melalui aparatus pemaksanya (Coercive Institution) ketika itu, telah menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power) untuk menghilangkan nyawa jutaan manusia yang tidak pernah terbukti secara hukum, bahkan hingga hari ini. Mereka yang dituding berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), para keluarga-keluarganya, bahkan mereka yang dianggap memiliki keterkaitan dengan aktivitas PKI di zaman itu, telah dibantai secara tidak manusiawi atas nama stabilitas keamanan dan ketertiban negara. Sarwo Edi, Komandan RPKAD ketika itu, bahkan dengan bangganya menyebut telah menumpas sekitar 1 juta jiwa orang, baik anggota maupun pengikut serta simpatisan PKI . Ini jelas merupakan tragedi “Genocide” terbesar yang telah mencengangkan dunia. Tragedi pembantaian suatu golongan tertentu ini, disandingkan atau bahkan jauh lebih menghebohkan dibandingkan dengan pembantaian ras yahudi yang terjadi di zaman Adolf Hitler.

Para korban pembantaian ini, secara social-politik, telah mengalami traumatik yang sangat sulit disembuhkan, mengingat penderitaan dan penyiksaan yang mereka alami selama berpuluh-puluh tahun. Bukan hanya penyiksaan secara fisik, akan tetapi juga secara psikis (kejiwaan), hingga penyiksaan dalam ruang sosial masyarakat yang kian menyempit akibat cap pengacau, anti agama, amoral, dan lain sebagainya. Hal ini secara sistematis membangun stigma ekstrem di tengah masyarakat, yang menganalogikan mereka (Baca : Korban tragedi ’65), sebagai penyakit dan sampah masyarakat. Hak Asasi Manusia ketika itu, bukanlah sesuatu yang layak diperbincangkan, bahkan cenderung dibutakan oleh tebaran isu-isu yang tanpa proses penyaringan nalar manusia lagi.

Awal Malapetaka

Sebuah peristiwa tentu berawal dari bangunan sejarahnya masing-masing. Begitu pula dengan tragedi pembantaiaan 46 tahun yang lalu. Bahkan hingga hari inipun, peristiwa tersebut terus menuai kontroversi mengenai, apakah mereka yang dituduh komunis ini, benar telah melakukan tindakan biadab yang membuat mereka patut dicaci maki, dicemooh bahkan layak dibunuh meski tanpa adanya mekanisme pembuktian didepan hukum? Ataukah peristiwa tersebut justru merupakan sebuah skenario yang dengan sengaja diciptakan oleh kepentingan politik tertentu untuk menyingkirkan suatu golongan yang membahayakan posisi politiknya. Ibarat zaman jahiliah, Indonesia ketika itu betul-betul telah mengalami sebuah situasi yang sangat jauh dari prinsip-prinsip penghormatan terhadap kemanusiaan.

Secara tersirat, sejarah memang menjadi suatu tafsiran yang lahir dari siapa yang berkuasa. Baik buruknya sejarah, menjadi otoritas penguasa dalam mereproduksinya ditengah masyarakat. Namun, sebagai jiwa yang sadar dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran nalar, maka sudah sepatutnya kita harus mengenali sejarah bukan dari siapa yang mengucapkannya, namun dari apa yang kita yakini berjalan dalam koridor universalitas berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan (principle of humanity). Berbagai macam versi megenai peristiwa G30S ini, masih mengemuka dalam masyarakat. Namun versi pemerintah Orde Baru menjadi mainstream kebenaran yang tetap mencekcoki pemikiran masyarakat kita. Khususnya generasi muda. Betapa tidak, sedari dulu, setiap tanggal 30 september, kita disajikan cerita bohong melalui film yang sengaja dibuat oleh Orde Baru sebagai alat untuk terus-menerus membodohi rakyat.

Jika kita mendalami situasi politik di zaman itu, tentu kita tidaklah terlalu sulit untuk melihat kebenaran sejarah. PKI yang merupakan salah kekuatan politik terbesar (pemenang ketiga dalam Pemilu tahun 1955 dibawah Masyumi dan PNI), menjadi benalu bagi kaum reaksioner-kanan yang memang merasa terancam dengan keberadaan Partai Komunis terbesar di asia tersebut. Salah satu kekuatan politik yang merasa dirugikan adalah faksi militer yang berada dekat dengan kekuasaan. Terlebih lagi secara internal, militer dalam situasi yang mengalami konflik yang berakibat terjadinya faksionalisasi. Sebenarnya telah lama terjadi pertentangan antara faksi-faksi di kalangan internal militer, terutama ditubuh Angkatan Darat, yaitu sejak rasionalisasi dan rekonstruksi (Re-Ra) Angkatan Perang dalam pemerintahan Hatta. Pertentangan itu terutama antara profesionalisme model Barat yang dibumbui oleh pembelajaran politik sebagai bagian dari keikutsertaannya dalam kekuasaan negara, dengan semangat revolusioner warisan revolusi 1945 yang masih kental di kalangan perwira menengah AD. Pada tahun 1965 AD telah terpecah dalam dua kubu yaitu kubunya Jenderal Achmad Yani yang loyal kepada Presiden Soekarno dan kubunya Jenderal A.H. Nasution-Soeharto yang tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno tentang persatuan nasional terutama tentang Nasakom dan Pengganyangan Malaysia.

Dengan lihainya Soeharto bertindak seolah-olah loyal terhadap kepemimpinan Nasution maupun Yani dan sekaligus pendukung Soekarno, namun dilain pihak Soeharto merangkul kelompok perwira yang ingin menyelamatkan Bung Karno, dan kemudian kelompok tersebut diorganisasi dan dimanfaatkan untuk menghancurkan kelompok Yani maupun Nasution, menghancurkan PKI yang kemudian merebut kekuasaan. Hal tetrsebut terbukti dengan scenario penghacuran gerakan komunis dengan meledaknya peristiwa Gestapu.

Distorsi Sejarah

Jika becermin dari situasi Indonesia selama 32 tahun Orde Baru Berkuasa, maka tepatlah ujar-ujar (maxim) bahwa, “Sejarah tergantung dari siapa yang berkuasa. Baik buruknya tafsir sejarah, semuanya disetir sedemikian rupa menurut kehendal serta kepentingan penguasa”. Salah satu inti sejarah yang ditelikung oleh Orde Baru Soeharto adalah, personifikasi PKI yang selalu dicitrakan biadab, kejam dan tidak bermoral. Kita tentu masih teringat dengan tayangan Film dokumenter G30S yang merupakan visualisasi tragedi versi resmi Pemerintah Orde Baru, dimana wanita-wanita yang tergabung dalam Gerwani dipropagandakan sebagai pembunuh keji yang tanpa rasa ampun menyiksa para jenderal, bahkan dengan memotong kemaluannya. Padahal sesungguhnya, tidak ada penyiksaan, pencungkilan mata, maupun penyiletan kemaluan jenderal oleh Gerwani maupun anggota Pemuda Rakyat.

Bantahan ini sesuai dengan visum et repertum dari tim dokter yang mengautopsi (bedah mayat) para jenderal yaitu tim dokter yang diketuai oleh Brigjen TNI Dr. Rubiono Kertapati dengan visum et repertum nomor 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109 (untuk tujuh korban) yang menyatakan tidak ada bekas penyiksaan dalam tubuh korban seperti penyiksaan, pencungkilan mata, dan sebagainya. Hal itu juga dinyatakan oleh Presiden Soekarno dalam pidato pada HUT LKBN Antara tanggal 12 Desember 1965 dan pembukaan Konferensi Gubernur Seluruh Indonesia tanggal 13 Desember 1965 . Kebenaran visum ini akhirnya semakin diamini oleh Dr. Yahya, yang juga murid salah satu tim dokter yang melakukan visum terhadap para korban 65. Dr. Yahya, pada akhir tahun 2007 telah menemukan bukti hasil visum yang menjelaskan bahwa memang tidak terjadi hal-hal yang dituduhkan oleh Pemerintahan Orde Baru Soeharto.

Kembalikan Hak-hak Dasar Korban

Selama 32 tahun Pemerintahan Orde Baru Soeharto, korban yang selama ini dituduh sebagai biang dan pelaku pembantaian para jenderal, tak ayal telah diperlakukan secara tidak manusiawi. Dibunuh dan ditangkap tanpa proses hokum sebagaimana mestinya, dukucilkan dan dibuang dari ruang social dengan tuduhan amoral, hak politik diremukkan, serta perlakuan lain yang pada hakekatnya merupakan bentuk pratek ketidakadilan Negara terhadap warganya sendiri. Bahkan beberapa komunitas korban 65 masih terus diawasi setiap saat dengan kewajiban wajib lapor kepada institusi keamanan Negara baik kepolisian maupun militer.

Untuk itu, Negara harus mengembalikan hak-hak dasar korban 65, sebagaimana perlakuan yang telah diberikan kepada masyarakat yang lain. Negara harus bertanggung jawab untuk melakukan rehabilitasi terhadap korban 65 tanpa syarat. Dan salah satu bentuk rehabilitasi terhadap korban 65, adalah upaya pelurusan sejarah yang selama ini ditelikung oleh Orde Baru. Sejarah harus diungkap sebagaimana adanya. Fakta-fakta tagedi 65 adalah sebuah fenomena “genocide” atau pembantaian sebuah kelompok atau golongan yang dilakukan oleh rezim penguasa.

hallo

Rabu, 31 Agustus 2011

maaf